Selasa, 21 Juni 2016

Sensor Internet dan Sekuritas di Era Cyberware, Studi Kasus Tiongkok

Materi SAP yang dibahas : Pengelolaan Web tentang Prinsip dan serangan : Jaringan kesetaraan (netral) dan Sensor.


Abstrak

Penelitian ini mencoba menjawab motif dan tujuan di balik Kebijakan Sensor Internet di Tiongkok. Penelitian dimulai dengan menganalisis bagaimana sistem internasional saat ini telah berubah sejak kemunculan Cybespace dan lanskap perang baru yang dikenal dengan nama Cyberwarfare. Pemerintah Tiongkok merespon perang baru ini dengan Kebijakan Sensor Internet pada instalasi komunikasi dan informasi mereka. Untuk memahami kasus ini, digunakan teori securitization dari Barry Buzan (1998) untuk menganalisis bagaimana strategi securitization internet Tiongkok dilakukan. Secara umum temuan dari penelitian ini adalah bahwa program Sensor Internet Tiongkok memiliki motif dan tujuan yang multidimensional mulai dari aspek ideologis, politik, pertahanan-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya. 

1. Pembahasan

1.1 Asal Mula Kebijakan Sensor Internet

Keberadaan sistem komunikasi via internet membawa perubahan yang sangat besar terhadap studi Hubungan Internasional. Fenomena yang nampak dari kemunculan internet ini adalah kemunculan komunitas-komunitas maya yang menghubungkan individu dan masyarakat dari suatu negara secara paralel dengan individu dan masyarakat dari negara lain. Teknologi internet ini juga telah mentransformasi pandangan ilmuwan politik tentang negara. Konsep negara modern yang mengisyaratkan bahwa negara adalah komunitas yang memiliki penduduk yang tetap, wilayah yang tetap, pemerintahan yang tetap, serta otonomi kekuasaan politik dan hubungan internasional pada institusi pemerintahan kini tidak lagi mampu menjawab tantangan perubahan zaman yang memunculkan ‘masyarakat maya’ atau jaringan individu berbagai bangsa dan etnis. Masyarakat maya ini menggunakan ruang-ruang cyber untuk saling bertukar informasi, menjalin hubungan kekerabatan, melakukan transaksi ekonomi dan bisnis, hingga operasi tindak-tindak kejahatan baru dengan skala global yang sulit dikontrol oleh negara.
Permasalahan baru bermunculan dalam ruang cyber ini seperti kemunculan kejahatan dan penipuan bentuk baru contohnya hacker, serangan virus terhadap situs pemerintah dan bisnis, situs porno yang menyediakan jasa seks virtual, penipuan bisnis daring, pembobolan akun bank, hingga kejahatan multidimensional seperti cyber terrorism. Negara merespon masalah tersebut dengan pembentukan departemen yang membuat regulasi teknologi informasi dan unit khusus di kemiliteran dan kepolisian yang menangani kejahatan maya ini. Korporasi pun merespon hal ini dengan pembentukan lembaga khusus di bidang pengembangan situs dan teknologi informasi. Dalam urusan yang berkaitan dengan kejahatan lintas negara, polisi internasional (Interpol) difungsikan untuk menindak kejahatan yang telah menembus otoritas negara.
Sebuah lembaga riset pemerintah Amerika Serikat (AS), National Science Foundation (NSF) membantu pengembangan jaringan Advanced Research Project Agency Network (ARPANET) agar dapat menghubungkan situs milik lembaga non militer dan universitas dengan ARPANET. Jaringan ARPANET kemudian berganti nama menjadi internet karena fakta bahwa jaringan ini menghubungkan banyak sekali organisasi baik pemerintah, universitas, LSM, maupun institusi swasta (Cheek 2006). Pembentukan jaringan ARPANET, yang kemudian berevolusi menjadi Internet, ini ditujukan agar Kementerian Pertahanan AS memiliki media komunikasi alternatif apabila terjadi kerusakan dalam jaringan informasi lain seperti telegraf, telepon, hingga surat pos. Penemuan teknologi surat elektronik memudahkan lembaga kemiliteran dan lembaga penelitian di AS untuk memiliki akses jaringan informasi yang cepat, mudah, dan rahasia. Dengan demikian faktor-faktor yang menghambat pertukaran informasi secara cepat dan rahasia akhirnya dapat dipecahkan melalui jaringan internet yang mampu menembus batas linear ruang dan waktu (Shabazz 1999 dalam Cheek 2006).

1.2 Memahami Strategi Tiongkok dalam Menghadapi Cyber Warfare

Setelah berakhirnya era Perang Dingin, negara Tiongkok berniat untuk mempertahankan stabilitas domestik dan regional. Hal ini bersamaan dengan pengembangan bidang ekonomi, militer, teknologi, ilmu pengetahuan dan soft power. Tiongkok juga mengejar keseimbangan antara dimensi ekonomi dan dimensi militer, yang dipercayai sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Beijing tetap memegang teguh kebijakan One China, terkait dengan permasalahan hubunganya dengan Taiwan, dan mengklaim kekuasaanya terhadap kepulauan Parcel, Spratly serta perairan di sekitarnya. Meski selama ini Tiongkok seringkali menunjukkan sikap tidak ramah kepada negara-negara Barat yang mencampuri urusan dalam negerinya, namun Tiongkok sejak lama telah menerima internet sebagai penanda zaman globalisasi yang wajib diikuti. 

Pada awal internet diperkenalkan di Tiongkok, ada sejumlah keresahan dari masyarakat dan pemerintah yang kontra terhadap ancaman masuknya nilai-nilai Barat namun ada juga sebagian yang menerima karena ada potensi ekonomi besar di balik internet di era globalisasi. Ketakutan terhadap pengaruh ideologi Barat menyebabkan pemerintah pada tahun 1993 memberlakukan sensor ketat terhadap penggunaan internet, dengan membatasi akses internet pada beberapa lembaga pendidikan dan lembaga penelitian. Namun secara perlahan kebijakan tersebut mengendur dari kebijakan sensor ketat (strict censorship), menjadi sensor sebagian (half censorship), dan otonomi terbatas (limited self autonomy) (Zheng et al. 2002). 

Di bawah kepemimpinan Deng Xiao Ping, pemerintah Tiongkok tampaknya mengendurkan kontrol terhadap pengungkapan ide-ide dan kesenian. Toleransi yang cukup besar ini kemudian mendorong para wartawan mulai meliput masalah-masalah korupsi, filsuf mulai mengkritisi ide-ide Marxisme, rumah produksi film mencoba mengeksplorasi tema seksualitas yang sebelumnya dilarang. Perlahan pemerintah menyadari bahwa IT merupakan kunci bagi peningkatan produktivitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok sejak tahun 1993 menerbitkan kebijakan yang berubah-ubah berkenaan dengan penggunaan internet di bidang pendidikan dan bidang ekonomi (Zheng et al. 2002). Pada tahun tersebut Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok menerbitkan Guideline to Educational Reform and Development. Dua tahun kemudian pada 1995 pemerintah Tiongkok memberlakukan Educational Law of the People’s Republic of China. Keduanya menempatkan prioritas pada reformasi bidang pendidikan dan pemerintah mendukung penggunaan media broadcasting, televisi, dan metode-metode pendidikan jarak jauh untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi pendidikan seumur hidup untuk semua masyarakat Tiongkok (Zheng et al. 2002). Kebijakan ini menandai perubahan kebijakan Tiongkok dengan menurunkan tingkat sensor dari sensor ketat menjadi sensor sebagian.
Mulai tahun 1994 hingga tahun 1997, pemerintah mengeluarkan dana untuk membangun infrastruktur jaringan internet. Pemerintah membangun empat sistem jaringan komunikasi utama: (a) CHINANET, (b) China Science Academy Network, (c) Golden Bridge Network oleh Kementerian Pendidikan, dan (d) Kementerian Industri Informasi. Jaringan informasi tersebut menghubungkan sekitar 300 universitas dan lembaga-lembaga penelitian, serta penyediaan akses internet yang menghubungkan provinsi-provinsi di seluruh Tiongkok (Zheng et al. 2002). Akses internet kemudian tidak lagi menjadi terbatas, yang mana lebih banyak individu yang dapat menggunakan internet dan menjelajah web, namun pemerintah masih memberlakukan filter dan sensor terhadap beberapa laman web. Pemerintah juga mengendurkan kebijakan internetnya dengan mengizinkan investasi asing di bidang jasa telekomunikasi, meskipun pemerintah masih harus memilih 51 persen saham di berbagai perusahaan telekomunikasi tersebut (Zheng et al. 2002). Sejak itu banyak perusahaan telekomunikas dari Barat yang berinvestasi di Tiongkok.
Kebijakan sensor ketat, sensor sebagian, dan otonomi terbatas sebenarnya merupakan strategi pertahanan Tiongkok untuk masuk secara perlahan dalam arus globalisasi ekonomi dunia yang sarat akan kompetisi antara korporasi-korporasi multinasional. Korporasi multinasional telah sejak lama mengembangkan sistem teknologi informasi. Sementara Partai Komunis Tiongkok, setelah keruntuhan Komunisme Uni Soviet, membuat banyak kebijakan melalui program pembangunan yang dalam dunia akademis disebut sebagai kapitalisme negara. Karakteristik utama dari kapitalisme negara adalah kontrol kuat pemerintah dalam bidang perekonomian, serta inisiatif pembangunan yang berasal dari negara. Pada tahun 1998 pemerintah Tiongkok menggagas program Government On-Line Initiatives yang berusaha memastikan 80 persen agensi pemerintahan di level pemerintahan lokal dan nasional sudah memiliki laman web pada akhir tahun 2000. Pada tahun tersebut Kementerian Industri Informasi, yang merupakan regulator jaringan internet, memerintahkan perusahaan telekomunikasi utama milik Pemerintah, China-Telecom, untuk menurunkan harga bagi penyedia jasa internet hingga sepertiga dari harga pada tahun 1997 (Zheng et al. 2002).
Lebih jauh lagi pemerintah Tiongkok juga menghimbau perusahaan-perusahaan pemerintah penyedia jasa telekomunikasi seperti China Unicom, China Mobile, China Netcom, Ji Tong, dan China Railway Telecom untuk mengikuti jejak China Telecom. Pada bulan Juli 2000, pemerintah Tiongkok menggagas Beijing On-line Initiative yang bertujuan mengajak 7 juta pebisnis Tiongkok untuk memiliki jaringan laman pada akhir tahun 2002. Tantangan terbesar usaha ini adalah bagaimana mempromosikan internet pada usaha kecil dan menengah. Usaha kecil dan menengah menguasai 99 persen perusahaan di Tiongkok, yang setengah dari jumlah tersebut tidak memiliki komputer.

1.3 Dasar Hukum Sensor Internet di Tiongkok

Pemerintah Tiongkok merancang sistem the great firewall of China dengan berlandaskan pada beberapa regulasi dan undang-undang sebagai landasan hukum bagi sensor internet di Tiongkok. Regulasi pertama disebut Temporary Regulation for the Management of Computer Information Network International Connection. Regulasi ini ditetapkan pada 42nd Standing Committee of the State Council tanggal 23 Januari 1996. Ketentuan dalam regulasi ini adalah bahwa penyedia jasa internet harus mendapatkan lisensi dari pemerintah dan lalu lintas koneksi internet (internet traffic) harus melalui perusahaan-perusahaan tertentu seperti ChinaNet, dan GBNet, CERNet atau CSTNet (Zetter 2010). Dengan melalui perusahaan tersebut pemerintah dapat mengontrol lalu lintas koneksi internet terhadap para pengguna internet di Tiongkok daratan.
Regulasi kedua adalah Ordinance for Security Protection for Computer Information Systems. Regulasi ini diterbitkan pada tanggal 18 Februari 1994 oleh Dewan Negara (state council) yang mengamanahkan proteksi keamanan internet pada Kementerian Keamanan Publik (Zetter 2010). Ketentuan kedua tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian Keamanan Publik dengan menerbitkan regulasi ketiga tentang Prosedur Manajemen Keamanan dalam Mengakses Internet pada Desember 1997. Aturan ketiga ini mulai membuat kategori-kategori tentang Informasi dan Aktivitas Berbahaya dalam penggunaan internet (Zetter 2010).

1.4 Perkembangan Terbaru Kebijakan Sensor Internet di Tiongkok

Pemerintah Tiongkok membuat kebijakan-kebijakan baru dalam sensor internet ini. Berikut ini adalah beberapa strategi yang dimunculkan pemerintah Tiongkok. Pertama, Tiongkok menuntut peninjauan isi Perjanjian WTO dalam Proteksi Internet. Di dalam perjanjian tersebut menekankan bahwa setiap negara anggota WTO yang terikat perjanjian di bidang jasa harus memperlakukan baik perusahaan asing dan perusahaan nasional secara adil. Namun pemerintah Tiongkok telah melanggar perjanjian tersebut dengan melarang beberapa alamat domain .com pada perusahaan asing yang memiliki cabang di Tiongkok.
Kedua, membuat aliansi dengan Rusia dalam penyusunan Cyber Proposal. Proposal tersebut menyoroti tantangan keamanan yang ditimbulkan oleh internet dan mengusulkan peran negara yang semakin kuat dalam memlindungi jaringan informasi siber. Proposal tersebut dipandang sebagai upaya menentang hegemoni Amerika Serikat di bidang teknologi informasi. Selama ini Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok selalu terlibat konflik siber soal serangan hacker. Ketiga negara saling menuduh satu sama lain mensponsori kegiatan hacking.
Ketiga, memblokir laman dan beberapa kata kunci yang membahayakan negara. Sehubungan dengan aturan mengenai larangan konten berisi propaganda yang berlawanan terhadap negara, pemerintah Tiongkok telah memblokir sekitar 2701 laman web yang tidak akan bisa diakses melalui instalasi internet di Tiongkok daratan. Sebagian besar laman web tersebut memiliki alamat domain .com, .uk, .jp, .net, .org (GreatFire.org 2011). Dalam kebijakan ini tampaknya Tiongkok memberikan keleluasaan bagi web yang memiliki alamat domain.cn yang digunakan oleh perusahaan nasional.
Keempat, pemerintah Tiongkok menyalahkan Program Penyadapan UKUSA-ECHELON.
UKUSA ECHELON merupakan bentuk perjanjian antara Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat yang diadopsi dalam parlemen Eropa selama tahun 2000-2001. Selain itu pemerintah Tiongkok dan Rusia tampaknya benar-benar memanfaatkan situasi terbongkarnya kasus penyadapan Global Surveilance Disclosure 2013 oleh mantan intelijen NSA Edward Snowden untuk melakukan kampanye besar-besaran anti penyadapan cyber oleh Amerika Serikat. Langkah-langkah yang dibangun oleh Beijing dalam merespon situasi cyber warfare tersebut menunjukkan bahwa dimensi dari grand design strategi Tiongkok sangat luas meliputi bidang politik, ekonomi, pertahanan, kebudayaan, dan lain sebagainya. Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa misi Beijing dalam cyber warfare ini adalah misi pertahanan ideologis adalah terlalu sederhana. Dimensi lain lebih kuat dalam misi tersebut, apalagi konteks politik global saat ini telah beranjak dari perang ideologis komunisme melawan kapitalisme.

1.5 Memahami Motif dan Tujuan Securitization terhadap Ideologi Masyarakat Tiongkok

Kebijakan internet di Tiongkok memang berganti-ganti sesuai dengan konteks sosial politik yang berkembang. Asumsi ini terbukti dari tulisan Robert Zheng, John R. Ouyang, dan Feng Rui (dalam Zheng et al. 2002) yang menuliskan :

The instructional use of the internet in China is still in developmental stage. Issues that still need to be addressed include (a) government policy related to internet activities and content and the need to create a more open, less restricted internet environment for free information exchange and communication; (b) the need to reduce the geographical differences and create equal opportunity for people to access information; and (c) the need for more funding to secondary and elementary education, with a focus on educational technology enhancement to create opportunities for people to access digital technology regardless of gender, age, social status, or economic background.

Akhir-akhir ini ketika internet sudah mulai meluas digunakan oleh masyarakat Tiongkok dan negara ini sudah mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi, kebijakan sensor internet tersebut kembali diperketat. Alasannya adalah adanya eskalasi politik dalam negeri yang meningkat di internal Tiongkok dengan adanya kasus konflik di wilayah Xinjiang. Jika eskalasi politik tersebut diberikan ruang kebebasan di dunia maya maka dikhawatirkan akan memengaruhi legitimasi politik Partai Komunis Tiongkok. Selain itu eskalasi di dunia maya juga semakin meningkat dengan adanya kejahatan-kejahatan baru seperti hacker, cyber attack, dan cyber terrorism, dan lainnya.
Oleh karena itu menurut penulis, asumsi bahwa di balik kebijakan sensor internet Tiongkok merupakan upaya untuk melakukan securitization ideologinya hanya relevan pada akhir tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Sementara dalam perkembangan kebijakan sensor internet selanjutnya di dekade 2000-an terdapat alasan lain yang lebih kuat mendasari kebijakan tersebut. Alasan-alasan lain yaitu pembangunan ekonomi, peningkatan daya saing menuju era globalisasi, dan respon terhadap realitas politik domestik dan internasional.

1.6 Securitization Bidang Politik 

Dalam konteks pertahanan terhadap arus demokrasi kebijakan internet securitization pemerintah Tiongkok menemukan benang merah dengan upaya-upaya demokratisasi negara luar terhadap Tiongkok. Pada abad ke-21 proyek demokratisasi tersebut telah melibatkan internet sebagai medium, seperti halnya kasus di negara-negara Arab sejak tahun 2010. Bahkan Tiongkok juga rawan terhadap ancaman proyek demokratisasi dan Balkanisasi dari situasi dan kondisi politik dalam negeri. Konflik yang tidak kunjung selesai di tataran domestik dengan Taiwan, Tibet, Uyghur, serta kemunculan aktivis pro-demokrasi rentan menyulut disintegrasi bangsa Tiongkok. Pekerjaan rumah Partai Komunis Tiongkok untuk mengentaskan Tiongkok dari kemiskinan hampir tercapai dengan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai dua digit beberapa tahun belakangan ini.
Pekerjaan selanjutnya bagi pemerintah Tiongkok adalah memastikan legitimasi politik partai komunis Tiongkok tetap terjaga sembari mewujudkan cita-cita modernisasi ekonomi dengan membawa Tiongkok menjadi negara superpower di abad ke-21. Oleh karena itu menurut penulis, sensor internet yang digagas pemerintah Tiongkok memiliki motif dan tujuan Securitization di bidang politik yang relatif lebih dominan daripada motif Securitization ideologi, Securitization pertahanan dan keamanan, Securitization ekonomi, serta motif Securitization sosial budaya. Hal ini disinyalir oleh perkembangan kebijakan sensor internet pemerintah Tiongkok dari masa awal internet diperkenalkan hingga sekarang selalu menunjukkan adanya konsistensi pada upaya mempertahankan legitimasi politik Partai Komunis Tiongkok dan upaya untuk menekan gerakan-gerakan pro-demokrasi di negeri tersebut.

1.7 Securitization Bidang Pertahanan dan Keamanan

Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, selama satu dekade ini, telah melakukan program modernisasi menyeluruh dengan tujuan untuk secara fundamental mentransformasi kekuatan militernya agar dapat berperang dalam medan pertempuran dengan teknologi tinggi. Dengan menggunakan unit-unit yang saling terhubung dan saling berkomunikasi antara divisi bersenjata dan antara lapisan komando, militer Tiongkok telah bergerak melampaui misi tradisionalnya yang hanya terfokus pada masalah Taiwan, menuju kedudukan mempertahankan wilayah regionalnya. Usaha modernisasi ini, yang dikenal sebagai informization, diarahkan melalui doktrin strategi perang Local War Under Informationized Conditions, yang menjabarkan usaha berkesinambungan dari kekuatan militer Tiongkok, untuk mengembangkan arsitektur yang terintegrasi, berkemampuan mengkoordinasi operasi militer di darat, udara, lautan, ruang angkasa dan di seluruh spektrum elekromagnetik. Oleh karena itu, dari fakta tersebut dapat diketahui sebenarnya motif dan tujuan pemerintah Tiongkok mempersiapkan instalasi cyberspace dalam dunia kemiliteran adalah untuk menghadapi perang yang telah menggunakan fasilitas informasi yang canggih yang merupakan produk dari Revolusi Teknologi Militer.

1.8 Securitization Bidang Ekonomi

Pada tahun 1994, pemerintah Tiongkok menunjukkan komitmen yang serius untuk menggeluti industri teknologi informasi dengan membentuk Kementerian Industri Informasi. Pemerintah Tiongkok juga membuka peluang investasi asing bagi korporasi-korporasi multinasional di bidang teknologi informasi (TI) seperti Google, Yahoo!, Microsoft, IBM, dan sebagainya. Namun peluang investasi bagi perusahaan asing tersebut ternyata tidak selamanya menguntungkan bagi korporasi multinasional di bidang TI. Rentetan kebijakan sensor membuat perusahaan-perusahaan TI asing di Tiongkok merasa kewalahan menuruti kebijakan pemerintah. Pada tahun 2010, Google dengan dukungan dari pemerintah Amerika Serikat mengancam akan keluar dari Tiongkok dan menutup laman www.google.cn. Faktor lainnya adalah bahwa pemerintah Tiongkok selama ini sering menyadap alamat email para aktivis demokrasi dan Hak Asasi Manusia yang menggunakan fasilitas www.gmail.com / www.gmail.cn (Dann & Haddow 2008).
Dengan demikian dari penelusuran fakta-fakta di atas, kebijakan sensor internet di Tiongkok sebenarnya memiliki motif untuk mendongkrak perusahaan nasional di tengah persaingan dengan korporasi multinasional di bidang TI (Human Rights Watch 2006). Perusahaan-perusahaan TI asing yang sebelumnya berharap memperoleh keuntungan dari share market besar di negeri tirai bambu tersebut akhirnya harus kecewa dengan fakta bahwa mereka secara perlahan dikalahkan oleh perusahaan-perusahaan lokal dan nasional Tiongkok. Satu hal lagi yang menjadi perhatian dari para pebisnis TI bahwa Tiongkok seringkali melanggar hak cipta. Penjual jasa komputer di Tiongkok sering memproduksi copy software palsu yang dijual di pasaran untuk tetap dapat bertahan di persaingan bisnis TI yang semakin kompetitif (Human Rights Watch 2006).

1.9 Securitization Bidang Sosial Budaya

Dalam sejarahnya, Tiongkok merupakan salah satu negara yang pada masa lalu sering dilanda oleh konflik horizontal. Perkembangan terbaru dalam konflik horizontal ini adalah antara etnis muslim Uyghur dan etnis Han di Provinsi Xinjiang, konflik di Tibet, serta konflik dengan Taiwan. Konflik ini pada awalnya muncul akibat isu yang beredar di media internet bahwa dua orang dari etnis Uyghur telah melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis dari etnis Han (Baylis et al. 2011). Kerusuhan antara dua kelompok meluas menjadi isu nasional yang mengharuskan pemerintah Tiongkok turun tangan. Konflik horizontal lain yang mendapatkan perhatian cukup serius dari pemerintah adalah konflik antara Tiongkok dengan Tibet, yang memaksa sebagian orang Tibet dan juga pemimpin spiritual Dalai Lama untuk mencari suaka politik di India. Kasus lain yang mendapat sorotan dunia internasional adalah konflik antara Tiongkok dengan Taiwan. Pemerintah Tiongkok secara khusus menerapkan kebijakan sensor terhadap berita-berita terkait agar tidak keluar menjadi bahasan dunia internasional.
Pemerintah Tiongkok juga khawatir terhadap serangan budaya Barat melalui proyek westernisasi. Proyek ini disebarkan melalui media massa yang pada akhirnya memengaruhi gaya hidup generasi muda dan anak-anak. Tujuan akhirnya adalah agar masyarakat di negara dunia kedua dan ketiga mengikuti standar hidup masyarakat Barat yang bercirikan kebebasan berekspresi dan berpolitik. Oleh karena itu pemerintah Tiongkok memblokir situs-situs yang mengandung konsep-konsep ideologi politik ala Barat seperti demokrasi, liberalisme, otoritarian, despotisme, dan kebebasan berekspresi. Pemerintah Tiongkok juga memblokir situs-situs yang membahayakan bagi dunia pendidikan seperti situs pornografi dan konten-konten untuk dewasa lainnya.

Review Jurnal

Pada jurnal Sensor Internet dan Sekuritas di Era Cyberware, Studi Kasus Tiongkok menjelaskan tentang bagaimana negara Tiongkok membatasi penggunaan internet kepada masyarakat demi mencegah hal - hal yang tidak diinginkan yang dapat merusak keamanan negara tersebut, dan juga menghindari dari budaya - budaya luar yang negatif yang nantinya dapat merusak moral bangsa, selain itu juga untuk menstabilkan perekonomian, keamanan, politik dan budaya. Maka dari itu pemerintah Tiongkok sangat menggembor-gemborkan kebijakan dan juga keamanan atas pemakaian internet di negara tersebut demi menghindari segala aspek diatas yang dapat merugikan negara dan juga masyarakat yang takutnya akan berdampak buruk untuk masa depan bangsa.

Kesimpulan

Kebijakan sensor internet di Tiongkok memiliki dimensi yang luas bagi keamanan negara tersebut di bidang ideologi, politik, pertahanan keamanan, ekonomi, dan budaya.
Pertama, motif Tiongkok melakukan kebijakan sensor internet pada awalnya adalah motif ideologis. Dalam perkembangannya memasuki akhir tahun 1990an motif ideologis ini mulai berkurang seiring dengan keinginan Tiongkok memanfaatkan internet sebagai bagian dari fondasi perekonomiannya.
Kedua, dalam bidang politik, keberadaan internet mengancam legitimasi politik Partai Komunis Tiongkok. Ketiga, dalam dimensi Securitization pertahanan dan keamanan. Kebijakan sensor internet di Tiongkok merupakan salah satu upaya Securitization terhadap fasilitas pertahanan Tiongkok. Selain itu kebijakan sensor internet ini adalah untuk menghalau misi penyadapan yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat melalui NSA dan jaringan negara yang terikat perjanjian UKUSA.
Keempat, di bidang ekonomi kebijakan Securitization internet ini memiliki motif untuk menjaga persaingan yang kompetitif antara perusahaan IT lokal dan nasional Tiongkok dengan korporasi-korporasi IT besar dari negara Barat. Kelima, di bidang sosial budaya, pemerintah Tiongkok berupaya melakukan Securitization terhadap kebudayaan masyarakat Tiongkok dari serangan westernisasi yang memanfaatkan media komunikasi dan informasi internet.

Daftar Pustaka

Sumber Jurnal Link : Google Scholarships http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jhi8e09b9e78dfull.pdf oleh Rahma Eliya Faida

Tidak ada komentar:

Posting Komentar